Friday, July 11, 2014

Candu Bernama Transformasi Posisi

Tim nasional Belanda akhirnya gagal kembali ke final World Cup setelah ditumbangkan Argentina dalam drama adu penalti. Finalis Piala Dunia 2010, dan juga spesialis runner-up tersebut akan menghadapi tuan rumah, Brazil untuk memperebutkan juara ketiga, dini hari nanti (Sabtu, 12 Juli 2014).

Louis van Gaal melakukan kombinasi brilliant antara pemain muda, dengan para senior mereka dengan formasi 5-3-2. Terlihat defensive di atas kertas, namun Belanda tetaplah Belanda.. Totalvoetbal masih berhasil ditampilkan oleh Robin van Persie dan kawan - kawan. Pada Piala Dunia kali ini, van Gaal mempercayakan Daley Blind & Dirk Kuyt untuk mengisi posisi wing-back. Ya, keduanya tidak mengisi posisi natural mereka, Kuyt merupakan seorang winger atau striker, sedangkan Blind alaminya berposisi sebagai gelandang bertahan. Namun kedua sukses menjalankan tugas mereka, begitu juga dengan Bruno Martins Indi yang lebih sering bermain sebagai bek kiri dibandingkan bek tengah.


Kejeniusan van Gaal beri kesempatan Kuyt tetap bermain di World Cup


Perputaran posisi bukanlah hal yang aneh di tim nasional Belanda, kita mengingat Giovani van Bronckhorst, atau bahkan Ruud Gullit yang pernah bermain di segala posisi. Dirk Kuyt sendiri sebenarnya sudah pernah mengalami transformasi sebelumnya, dari seorang striker, ia digeser untuk mengisi sayap kanan, lalu sedikit ditarik menjadi gelandang kanan, sebelum akhirnya Louis van Gaal kembali menarik Kuyt lebih ke belakang lagi menjadi wing-back. 

Mereka semua disebut Utility Players. Pemain - pemain yang dapat mengisi berbagai posisi di lapangan, tapi apakah hanya mereka ? Tentu tidak, banyak pesepakbola merupakan Utility Players, namun kebanyakan dari mereka hanya menggunakan kemampuan tersebut dalam kondisi darurat, bukan sebagai rencana utama pelatih, tidak seperti Blind dan Kuyt. Lalu siapa yang berhasil melakukan transformasi posisi layaknya kedua wing - back Belanda tersebut ?

1. Julio Arca (Argentina)

Mantan pemain Argentina U-20 ini mengawali karirnya di tanah kelahiran sebagai bek kiri (LB), namun setelah hijrah ke Inggris, Peter Reid, pelatih yang memboyong Arca ke Sunderland memberi sedikit dorongan dan berhasil mengkonversi Julio Arca sebagai seorang gelandang kiri (LM). Selama 6 tahun berseragam The Black Cats - julukan Sunderland - Arca berhasil memberi gelar Championship pada tahun 2005, setelah sempat beberapa kali kehilangan performa terbaiknya. 

Pada akhir musim Premier League 2005-2006, Sunderland harus terdegradasi, dan Arca meninggalkan Stadium of Light untuk bergabung dengan rival mereka di riverside, yaitu Middlesbrough. Posisi Arca kembali diubah, dalam skema Gareth Southgate, Arca dipercaya untuk bermain sebagai gelandang tengah. Hasilnya ? Ia lebih sering menjadi penonton di dua musim pertamanya akibat cedera. Namun setiap kali ia bermain di lapangan, permainan Middlesbrough menjadi lebih solid. Gareth Southgate bahkan mempercayai Arca sebagai kapten menggantikan George Boateng.


2. Valon Behrami (Swiss)

Behrami merupakan seorang gelandang kanan, paling tidak posisi itulah yang ia tempati saat masih berseragam Genoa, Lazio, dan West Ham United. Sialnya, walaupun sering kali bermain bagus gelandang yang saat ini berseragam Napoli sangat jarang memberi kontribusi sebuah assist, yang bisa dikatakan merupakan sebagian besar tugas dari pemain - pemain yang bermain di posisi tersebut. Total hanya 3 assist ia sumbangkan untuk ketiga klub tersebut. Pada pertengahan musim 2010 - 2011, West Ham United meminjamkan Behrami kembali ke Italia bersama Fiorentina. 

Saat berada di Florance-lah Sinisa Mihajlovic mengadopsi Behrami sebagai seorang gelandang tengah. Ajaib ! Hanya setengah musim bersama Fiorentina, ia berhasil melampaui raihan total assist tadi. Behrami berhasil mengkreasi 4 gol, dan 2 diantara terjadi dalam 90 menit, saat Fiorentina mempecudangi Udinese 5-2, pada awal bulan Mei 2011. Pada akhirnya, Fiorentina memutuskan untuk mengamankan status pemain kelahiran Mitrovice tersebut dan secara resmi menjadi gelandang Fiorentina di musim 2011-2012 dan tampil 33 kali sebelum akhirnya hijrah ke Napoli. Bayangkan jika seorang Valon Behrami tetap bermain sebagai gelandang kanan.. Mungkin ia tidak akan ada di World Cup 2014.


3. Gareth Bale



Flop to Top, Gareth Bale ! Tottenham membeli Gareth Bale dari 'pabrik' pemain - pemain Britannia, Southampton sebagai bek kiri (LB) pada tahun 2007 dengan biaya 7 juta Pounds. Bale sempat menjadi pemain sensasional di musim pertamanya di London, ia mencetak 3 gol dalam 4 kesempatan sebagai starter. Walaupun memiliki naluri menyerang yang sangat tinggi, Juande Ramos masih tetap menggunakan Gareth Bale sebagai seorang defender, sensasi bek berusia 18 tahun itu lenyap setelah ia diterpa cedera, dan posisinya tergusur oleh Assou-Ekoto.

Kemudian Harry Redknapp masuk sebagai manager baru Spurs, di musim pertama mantan pelatih Portsmouth menangani Tottenham, rival dari Arsenal tersebut begitu sulit mendapatkan kemenangan setiap kali Redknapp menurunkan Bale. Pada bursa transfer Januari, Redknapp hampir melepas jasa Gareth Bale, lebih murah 50% dibanding saat pihak klub membelinya dari Southampton. Beruntung Alex McLeish saat itu menolak tawaran Tottenham, dan Bale akhirnya bertahan. Pada pertandingan - pertandingan penutup musim, Harry Redknapp baru mendorong pemain Wales sebagai sayap kiri, dan kita semua tentu ingat bagaimana aksi Bale menyisir sisi kiri lapangan, seperti saat ia memperdaya Maicon.

Sejak saat itu, Bale selalu dipercaya sebagai sayap kiri oleh Redknapp. Musim 2012 / 2013, Tottenham kembali mengganti manager tim mereka, Andre Villas-Boas yang gagal di Chelsea, ambil alih kursi kepelatihan. AVB memulai tahap akhir transformasi seorang Gareth Bale dengan menggeser-nya menjadi gelandang serang yang ada di belakang striker. Pada musim inilah dunia kembali terhipnotis oleh aksi Bale, ia bahkan dianggap membawa Tottenham seorang diri saat itu. Ada pula yang mensejajarkannya dengan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo dan akhirnya, Real Madrid tergoda untuk memecahkan rekor transfer untuk membeli seseorang yang sempat ditawarkan ke berbagai klub dengan harga 3 juta Pounds.


4. Gianluigi Buffon



No further comment, ini jawaban Gigi Buffon tentang transformasi posisinya. Dulu dia hanyalah seorang anak yang sama kayak kita semua. Pengen jadi striker, cetak gol, dan lari - lari. Bukan kiper yang punya kemungkinan lecet lebih besar, cuma nonton dari belakang, dan membosankan :))


Noteable mentions:

- Julio Baptista:

Kalian yang pernah main Football Manager / Winning Eleven pasti tau bagaimana mobile-nya pemain asal Brazil ini, tapi skill yang dia punya ngambang semua :|

- Jose Baxter:

Saat masih berstatus pemain muda Everton, Baxter adalah seorang striker yang kalah bersaing dengan seniornya. Sekarang ia bermain untuk Sheffield United sebagai gelandang serang, dan hampir tidak pernah absen dari lapangan.

- Rafael Marquez

Kapten tim nasional Mexico sering kali bermain sebagai gelandang bertahan saat berseragam FC Barcelona. Ia menjadi kunci triangle defense andalan Frank Rijkaard, namun di tim nasional ia merupakan seorang bek tengah yang tangguh.

- Michael Essien

Essien merupakan gelandang box to box yang memiliki stamina dan semangat tinggi, seperti seekor bison. Sejalannya waktu, dengan menua-nya usia Essien, ia sering ditarik menjadi seorang bek kanan di berbagai klub tempatnya bermain. Hal ini sama dengan gelandang anyar West Bromwich Albion, Craig Gardner. Mereka rela ditempatkan dimana saja selama bukan bangku cadangan.

- Callum Reilly

Reilly bermain sebagai seorang bek kiri saat ia masih sangat muda, namun setelah menimbah ilmu di akademi Birmingham City, Callum Reilly dibentuk menjadi seorang gelandang dengan visi permainan yang cukup.

- Stewart Downing

Downing mengawali karir sebagai bek kiri, dan beberapa kali di dorong untuk mengisi pos sayap kiri Middlesbrough. Hijrah ke Aston Villa, kurang lebih Downing memainkan peran yang sama, hanya saja prioritasnya lebih kepada seorang winger. Akhirnya saat berseragam Liverpool, Stewart Downing paten menjadi seorang pemain sayap. Downing senasib dengan Antonio Valencia, hanya beda daerah beroperasi.


Well, ya mereka cukup sukses dalam melakukan transformasi tersebut, bahkan Buffon membuktikan pemikiran kita tentang kiper dan striker berbeda jauh dengan kenuyataan. Transformasi posisi memanglah sebuah candu (kalo laku).



By: @adrieedu

Monday, July 7, 2014

"Anak Dewa", Carlos Santana Benar - Benar Nyata ?

Melihat perhelatan Piala Dunia yang di adakan di neg'ri Samba dan para pesertanya membuat saya ingin mebahas tentang salah satu pemain, teman-teman pasti tahu kartun yg melegenda dari negeri sakura, kartun yg menginspirasi banyak anak namun banyak hal konyol bila diperhatikan dari kartun tersebut. Melakukan sundulan sambil berbicara berkalimat-kalimat ataupun melepaskan tendangan sambil mengenang masa lalu.

Ada yang tau kartun apa itu ? 


Ya Captain Tsubasa ! Akan tetapi, bukan Tsubasa yang akan saya bahas kali ini melaikan pemain yang dibuat berasal dari Brazil yaitu Carlos Santana.


"Pertandingan baru dimulai"

Ada apa dengan Santana ? Bila kita lihat dari tampilan fisiknya tidak ada pemain Brazil yang sama dengannya, begitu juga dengan sikap dan gaya permainanya tak ada pemain yang sama dengannya.
  
Kembaran Santana bukanlah dari Brazil, melainkan neg'ri Pizza, Italia. Siapakah dia?? 

Siapa lagi yang sekilas tampilan fisik dan gaya permainanya sama dengan karakter Santana kalau bukan Mario Balotelli! Super Mario nampak memiliki 'kesamaan' dengan Carlos Santana.

Dalam animasi Captain Tsubasa, Santana di ceritakan sebagai seorang pemain muda asal brazil yg memiliki bakat serta kemampuan yg luar biasa. Bahkan dia di juluki sebagai Son of God dan Soccer Cyborg. sayapun masih ingat betul episode dimana Santana berlatih sendiri lalu bilang bahwa dia adalah anak Dewa, lalu muncul patung Yesus kebanggaan Brazil di belakang tubuhnya, hehe maaf sedikit mengenang masa lalu.

Santana bagaikan seorang pesepakbola tanpa perasaan, mencetak gol tanpa ekspresi hanya tau tugasnya tuk mencetak gol dan tak kenal lelah bak Cyborg, Hal itu disebabkan oleh masa lalunya yg kelam. Ia dibuang oleh orang tuanya dan mengalami kehidupan yg sangat sulit, dan hanya tahu Sepakbola sebagai kehidupanya tanpa mendapat pendidikan di sekolah dan sebagainya. Bukankah Mario Balotelli juga dibuang oleh orangtuanya ? Bukankah striker utama tim nasional Italia tersebut sering memasang muka tanpa ekspresi saat mencetak gol ?

Baik Mario Balotelli dan Carlos Santana sama - sama menganggap sebuah gol tidak perlu dirayakan, karena itulah tugas mereka sebagai seorang striker.


Little Mario (Kanan)
Balotelli yang terlahir sebagai kulit hitam membuatnya manjadi sasaran aksi rasisme, pemain keturunan Ghana yang dicampakan orangtuanya di Rumah Sakit Palermo, dari kecil hingga sekarang Balotelli tak luput dari serangan rasisme apalagi saat di ketahui ia merupakan seorang anak angkat, hal itu membentuk pribadi yang bengal dan melampiaskanya di Sepakbola.

Santana dan Balotelli sama - sama menemukan sosok ayah bernamakan Roberto, Roberto Hongo mengarakan Santana menjadi sosok yang lebih baik lagi dari sebelumnya, sedangkan Roberto Mancini berhasil meredam aksi bengal Balotelli untuk kemudian dilampiaskan di lapangan. Pada akhirnya, baik Carlos Santana dan Super Mario berhasil menjadi pemain kunci negara masing - masing.

Sepertinya sah - sah saja jika kita menyamakan Mario Balotelli dengan Carlos Santana, bahkan bukan tidak mungkin Super Mario memang terinspirasi animasi Jepang yang juga diakui striker Spanyol, Fernando Torres sebagai pembuka impiannya. Pasalnya, animasi "Captain Tsubasa: Road to 2002 dirilis pada tahun 2001, saat Mario masih berusia 11 tahun, saat - saat dimana hampir semua anak di dunia mulai memiliki impian.



By: @Reza_Kemal

Kepingan yang hilang dari Perancis



Ada yang hilang di Brazil

Perancis tampil sangat impresif di babak grup Piala Dunia 2014 Brazil. Mencetak 8 gol dan hanya kebobolan 2 dari 3 pertandingan membuat mereka kembali menjadi tim unggulan. Performa ciamik dari Karim Benzema dianggap menjadi kunci keberhasilan Perancis dan membuka jalan menuju penembusan 'dosa' 4 tahun lalu dimana juara dunia tahun 1998 tersebut harus terhenti di babak group.

Komposisi pemain di setiap posisi-pun sangat mumpuni. Mistar gawang dijaga sang kapten Hugo Lloris yang tak perlu diragukan lagi kemampuannya. Pada barisan bek, mereka memiliki banyak bek tangguh dalam diri Raphael Varane, Mamadou Sakho, Laurent Koscielny dan Patrice Evra serta Mathieu Debuchy yang mampu menyerang dan bertahan sama baiknya.

Trio gelandang Perancis tak perlu diragukan lagi kemampuannya. Yohan Cabaye, Paul Pogba dan Blaise Matuidi menjadi sosok sentral dalam permainan mereka. Cabaye yang lebih bermain ke belakang menjadi benteng pertama yang akan dihadapi lawan. Selain itu dia pula yang mengatur ritme permainan. Paul Pogba, kapten Perancis U-20 yang membawa negaranya menjadi juara dunia ini dapat diandalkan dalam memberikan umpan-umpan matang ke lini depan. Ia pun dapat menjadi pemecah kebuntunan, seperti yang ditunjukkannya saat melawan Nigeria. Sedangkan Blaise Matuidi punya kemampuan membaca permainan dan daya jelajah yang sangat baik. Ketiganya dianggap sangat padu.


Griezmann, kepingan berharga Perancis, di masa depan. 
Lini depan mungkin dianggap orang sebagai pusat kekuatan Perancis. Padahal disanalah “kepingan” yang hilang. Karim Benzema sebagai juru gedor utama sudah membuktikan kualitasnya, begitu pula dengan Mathieu Valbuena yang sangat eksplosif dan ahli bola - bola mati. Akan tetapi, mereka masih membutuhkan 1 pemain lagi. Pada babak grup, 3 pemain dicoba untuk menemani Benzema dan Valbuena di lini depan. Antoine Griezmann, Olivier Giroud dan Moussa Sissoko bergantian tampil di lini depan. Sayang, tidak ada satu-pun dari mereka berhasil menggantikan sosok Frank Ribery. Perancis memang sudah cukup tajam, tapi untuk hal ini, ucapan terima kasih juga layak disamatkan trisula Perancis kepada pertahanan lawan yang memiliki konsetrasi lemah.

Pada akhirnya Perancis harus pulang karena kekalahan atas Jerman di babak perempat final, dengan skor 1-0. Benar - benar terasa, ada sebuah bagian yang hilang dalam tubuh tim nasional Perancis. Walaupun usaha mereka jauh lebih baik bila kita bandingkan dengan Piala Dunia 2010, saat Perancis harus angkat koper dengan label juru kunci di akhir babak group, pada Piala Dunia kali ini, Perancis kehilangan seorang ice-breaker. 


Messi pecah kebuntuan Argentina vs Iran

Pemain yang dapat memikul beban besar dalam tekanan dan memberikan sebuah percikan semangat kepada rekan senegara dengan kemampuan individunya. Jika Argentina memiliki sosok Lionel Messi, Belanda mengandalkan Arjen Robben, Jerman tersuntik daya magis Toni Kroos, ada nama Neymar di kubu tuan rumah, bagaimana dengan Perancis ?




Jika saja kepingan itu ditemukan, sangatlah mungkin sosok Didier Deschamps akan menjadi orang pertama sebagai pemain dan pelatih yang tak pernah merasakan kekalahan di Piala Dunia setelah membawa negaranya juara di kandang sendiri pada tahun 1998.

By: @bertrandtarigan