Wednesday, June 25, 2014

Dilema kelaparan dan Piala Dunia


Pelaksanaan piala dunia yang begitu marak pada pertengahan tahun ini selaras dengan maraknya demonstrasi-demontrasi yang menolak diadakanya turnamen bergengsi tersebut. Berbagai pemberitaan negatif selalu saja ada menghiasi event yang empat tahun lalu berlangsung di Afrika Selatan.

Ini bukan pertama kalinya Brazil menyelenggarakan piala dunia, sebelumya pada tahun 1950  negara yang terletak di paling bawah benua amerika inipun berhasil menyelenggarakan  turnamen yang memperebutkan piala karya pematung italia, Silvio Gazzaniga. Pada tahun itu juga terjadi peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan masyarakat Brazil hingga saat ini yaitu, Maracanazo. Tim Samba yang kala itu sudah digadang-gadang akan menjadi juara piala dunia, secara tragis harus bertekuk lutut dihadapan Uruguay. Rakyat Brazil pun serasa ditimpa musibah besar. Beberapa fans yang kecewa bahkan sampai melakukan bunuh diri. Dan para pemain yang terlibat pada pertandingan tersebut hampir semuanya mengundurkan diri dari dunia sepakbola karena tidak tahan akan derita yang mereka rasakan, belum umpatan dari masyarakat yang sangat kecewa akan “mimpi buruk” tersebut.

Hal tersbesar yang terasa hingga saat ini dari kejadian Macaranazo ialah, ritual bergantinya jersey utama tim nasional Brazil yang ketika itu berwarna putih, diganti menjadi warna kuning, seperti yang lazim kita lihat hingga saat ini.  

Gegap gempita gelaran piala dunia 2014 ini sungguh memang terasa hingga ke seluruh dunia. Jutaan umat manusia di muka bumi seolah terbius dengan adanya hajatan akbar empat tahunan ini. Tak terkecuali di Indonesia, anak muda, orang tua, ibu-ibu, bapak-bapak, dari tukang ojek sampai politikus pun enggan ketinggalan untuk larut pada kemeriahaan kompetisi sepakbola dunia yang berlangsung dari tanggal 13 juni sampai dengan 14 juli 2014.

Belum lagi peranan media massa cetak maupun elektronik dalam mewartakan segala kejadian yang terjadi di negara tempat lahirnya maestro-maestro sepakbola terkemuka tersebut, mereka bahkan memberikan slot khusus selama bergulirnya piala dunia. Semakin besar  saja efek yang dihasilkan bukan?. Bagi para pengguna sosial media, terutama twitter. Sudah menjadi makanan sehari-hari jika timeline mereka diisi celotehan-celotehaan “komentator dadakan” yang kadang terlihat sotoy mengomentari kejadian-kejadian di lapangan hijau yang mereka lihat dari layar kaca. Tapi, ya disitulah serunya, bahkan tweet-tweet bola ini berhasil menggeser tweet-tweet politik yang ramai jelang pemilihan presiden 2014. Terutama disaat matchday.

Tidak dapat dipungkiri, saya pun menjadi bagian dari jutaan orang yang tenggelam dalam euphoria pesta bola ini. Saya juga yakin kawan-kawan merasakan hal yang sama walaupun tidak semuanya seperti itu. Karena tidak semua orang suka bola, begitupun sebaliknya.
Dibalik meriahnya piala dunia, tahukah kamu jika pesta bola dunia ini justru ditolak oleh sebagian masyarakatnya sendiri. Bukan apa-apa, dana yang digelontorkan pemerintah menghabiskan 11,5 milyar dolar untuk mempersiapkan acara selama sebulan itu, termasuk membangun atau memperbarui stadion di 12 kota yang menyelenggarakan pertandingan antara ke-32 tim.
Itu belum biaya untuk pengamanan, dalam piala dunia kali ini diperkirakan 170.000 personil polisi dan militer Brazil dipersiapkan untuk mengamankan piala dunia. Dengan banyaknya aksi demonstrasi dan ancaman kerusuhan, maka inilah piala dunia dengan pengerahan aparat keamanan terbanyak.


Sekitar 100.000-120.000 polisi dikerahkan untuk mengamankan jalanya piala dunia. Bukan hanya itu, 57.000 pasukan militer pun dikirim ke daerah-daerah perbatasan untuk mencegah masuknya pendatang gelap. Dengan itu, anggaran sebesar 99 Triliun rupiah telah disiapkan. Edan!


sumber: PanditFootball.com


 Itu baru keamanan, belum lagi dana untuk membangun infrastruktur selama gelaran piala dunia. Inilah yang membuat sebagian besar masyarakat brasil menolak piala dunia. Menurut mereka, akan lebih bermanfaat jika uang yang digelontorkan untuk Piala Dunia dialihkan ke sektor yang lebih penting seperti pendidikan dan kesehatan. Makanya para demonstran menggunakan piala dunia ini sebagai alat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Dengan dana sebanyak itu, warga brazil berharap kepada pemerintah seharusnya dapat membangun fasilitas umum yang memang lebih dibutuhkan dibandingkan piala dunia.
Tembok-tembok di jalanan pun tidak mau ketinggalan untuk bersuara,seperti yang dilakukan oleh street artist asal Brazil, Paulo Ito. Dia mengekspresikan apa yang masyarakat Brazil rasakan lewat mural-mural di kota Rio De Jainero dan Sao Paolo. Mereka berbagi keyakinan bahwa 11 miliar dollar yang telah dihabiskan untuk Piala Dunia seharusnya digunakan untuk meningkatkan transportasi, kesehatan, dan pendidikan.

Berikut karya-karya dari Paulo Ito: 








 By: @pandufeb

No comments:

Post a Comment