Wednesday, June 25, 2014

Stadion GBK ada di Russia??



Seandainya Perang Dingin tak pernah terjadi pada awal tahun 90-an silam, dan Rusia tetap menjadi Uni Soviet, secara ekonomi dan pertahanan mungkin Indonesia akan menjadi salah satu negara yang diperhitungkan di wilayah Asia Pasifik khususnya mengingat letak geografisnya yang sangat strategis. Rasanya gatal sekali menulis mengenai hubungan politik kedua negara sejak tahun 1950-an, tapi kali ini saya akan mempersempit tulisan di area sepakbola saja.
Sebelumnya mari sejenak kita me-refresh hubungan romantis Indonesia dengan Rusia yang sejatinya sudah muncul sejak lama, jauh sebelum merdeka tahun 1945, atau diakui kemerdekaannya oleh Belanda tahun 1949/1950 silam.

Sejarah mencatat bahwa orang Rusia (Soviet) pertama yang menginjakkan kaki di Nusantara adalah Afanasy Nikitin dari kota Tver. Nikitin adalah seorang pedagang dan saat ia membuat sebuah catatan mengenai perjalanannya di Asia (sejatinya ia hendak berlayar ke India sekitar tahun 1466-1472) dalam sebuah buku catatan pribadinya bernama “Perjalanan Melampaui 3 Laut”, ia menulis bahwa ada ada “Negara” yang ia beri nama Shabot yang terletak di kawasan tropis sekitar Cina. Peneliti menganggap bahwa yang ia maksud merupakan pulau Sumatra. Nikitin menggambarkan bahwa Shabot adalah pulau yang eksotis dengan keramahan penduduknya, keragaman budaya serta kehangatan iklim dengan rimbun pohon yang menyejukkan. Memang sedikit sekali literatur yang menyebutkan adanya hubungan dagang antara Soviet dengan Indonesia karena pada saat itu pedagang lebih banyak berasal dari India dan Arab (tentu dengan membawa budaya serta agama – red: Islam dan Hindu) sehingga Soviet yang cenderung komunis dianggap bukan orang yang bersahabat, ditambah ketidaksukaan warga pribumi dengan orang asing berkulit cerah (seperti Portugis, Inggris ataupun Belanda).

Terlepas dari hal itu, catatan yang dibuat Nikitin ternyata membuat orang-orang Soviet pada waktu itu tertarik untuk mengunjungi Indonesia, baik untuk berdagang maupun sekadar berkunjung (yang kemudian banyak pelancong asal Soviet yang membawa pulang budaya ketimuran serta agama Islam dan menyebarkannya ke “negara-negara buatan” Soviet seperti Kazakhstan, Uzbekistan dll). Singkat cerita, kesultanan Aceh (Sumatra Utara) yang pada tahun 1800-an tengah gencar-gencarnya membutuhkan armada perang guna mengusir penjajah akhirnya meminta bantuan kepada pihak Soviet baik itu berupa persenjataan maupun barikade ke-gerilya-an. Beruntung, tahun 1879, kapal Soviet bernama Vsadnik berlabuh ke Penang (Malaysia), dan delegasi-delegasi pemberontak Aceh pada waktu itu langsung memohon kepada perwakilan Soviet agar diberikan perlindungan. Kementrian luar negeri Soviet waktu itu (kalau tidak salah saat itu dipimpin oleh Nikolay II) merespon dengan positif dan negatif. Kenapa negatif? Ternyata segelintir pemberontak tersebut juga meminta status kewarganegaraan Soviet. Tentu saja ditolak. Namun demikian, niat baik ditunjukkan pihak Soviet (melalui sosok bernama Tzar) dengan dibangunnya kantor konsulat di Batavia yang akhirnya ditutup tahun 1913 karena campur tangan Belanda dengan VOC-nya.

Bung Karno, disegani Uni Soviet


Disinilah awal mula romantisme Indonesia (atau lebih tepatnya Ir. Soekarno) dengan kubu Soviet. Seperti janji saya, saya tidak akan mendalam membahas kiprah politik presiden pertama Indonesia tersebut di masa orde lama. Sejarah mencatat banyak sekali “bekas-bekas” peninggalan Rusia (terutama di Jakarta) yang menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara negara komunis tersebut dengan Indonesia. Mulai dari Tugu Tani, Monas, sampai Gelora Bung Karno. Gelora Bung Karno? Ada apa dengan kompleks olahraga pertama dan terbesar di Indonesia itu?

SUGBK, begitu nama stadion kebanggan Indonesia itu disingkat, ternyata memiliki sejarah yang cukup unik. Bagi kalian yang belum tahu, SUGBK memiliki struktur stadion yang sangat mirip dengan stadion Luzhniki di kota Moskow, Rusia. Kemegahan kedua stadion yang sempat tercatat sebagai 10 stadion terbesar di dunia tersebut sama-sama bertipe olimpik (dengan adanya running track). Bukan hanya itu saja, baik Luzhniki maupun SUGBK merupakan kompleks olahraga, berbeda dengan beberapa stadion lainnya yang memang dibuat untuk gelaran sepakbola (contohnya stadion-stadion di Britannia Raya).

Luzhniki Stadium

Luzhniki Stadium (dulunya bernama Lenin Stadium) merupakan stadion olahraga terbesar di Rusia. Saat ini ada dua klub Rusia yang menggunakannya sebagai kandang, yaitu Torpedo Moscow dan Spartak Moscow. Tahun 2008 kemarin, stadion Luzhniki digunakan sebagai tempat bergulirnya final UEFA Champions League antara Manchester United melawan Chelsea. Armada pasukan tempur Sir Alex Ferguson lah yang akhirnya keluar sebagai juara. Bahkan rencananya final Piala Dunia tahun 2018 mendatang juga akan digelar di stadion berkapasitas 76.000 tempat duduk ini.

Stadion Utama Gelora Bung Karno

Lalu apa hubungan antara Indonesia, khususnya SUGBK, dengan Luzhniki Stadium? Tidak lama setelah selesainya pembangunan Luzhniki Stadium pada tahun 1956, presiden Soekarno melakukan kunjungan ke Rusia. Soekarno kemudian melakukan pidato di depan ratusan ribu pasang mata di stadion tersebut. Sejarah mencatat bahwa itu adalah untuk kali pertama Luzhniki Stadium digunakan sebagai tempat non-olahraga dan tercatat sebagai salah satu kegiatan yang mendapat sambutan paling meriah serta
paling banyak. 

Pada medio 60-an, Soekarno adalah salah satu sosok yang paling diagungkan oleh warga Rusia. Semua orang Rusia mengagumi cara ia berorasi yang sangat menggugah siapapun yang hadir, tak terkecuali oleh pemimpin-pemimpin Soviet pada waktu itu, diantaranya dubes Rusia untuk Indonesia, Alexandrovich Zhukov, dan menteri luar negeri Rusia, A.A. Gromyko. Sebagai catatan tambahan, pada tahun itu pula Indonesia dan Rusia secara diplomasi resmi menandatangani perjanjian bilateral.

Setelah kunjungannya ke Moskow, Ir. Soekarno sempat berbicara dengan pemimpin-pemimpin Rusia mengenai kekagumannya terhadap Luzhniki Stadium, serta keinginannya untuk membangun stadion yang sama megahnya dengan apa yang dimiliki Rusia. Ucapan Soekarno ternyata ditanggapi serius oleh pemerintah Rusia. Sebagai bentuk keseriusan terhadap perjanjian kerja sama bilateral tersebut, Rusia rela menyumbangkan sekitar 12,5 juta dolar untuk pembangunan SUGBK. Angka tersebut tentunya sangat besar pada saat itu. Rusia pun mengirimkan tim arsitek serta pekerja bangunan terbaik guna pembangunan SUGBK yang diresmikan saat Asian Games tahun 1962 silam. Tidak heran jika bangunan kedua stadion sangatlah mirip.

Indonesia vs Uni Soviet


Hanya disitu saja? Tentu saja tidak. Ada kabar yang menyebutkan bahwa lambang garuda yang tersemat di logo PSSI maupun badan otoritas sepakbola Rusia (dan negara) merupakan bentuk dari betapa romatisnya hubungan antara Indonesia dengan Rusia pada waktu itu. Sebuah revolusi yang tentunya sangat membanggakan bagi kita warga Indonesia di tengah mandeknya prestasi sepakbola kita. Tidak perlu kita bicara dunia, untuk level Asia Tenggara saja kita masih kepayahan. 

Kita tidak bisa berharap banyak pada campur tangan Rusia dari segi pembinaan sepakbola, tapi setidaknya secuil sejarah ini bisa menjadi pelecut semangat, pembakar harga diri untuk menunjukkan rasa terima kasih kita, baik itu kepada saksi sejarah kita, maupun kepada Rusia yang sudah membantu banyak dalam perkembangan persepakbolaan kita.


By: @gregah14

No comments:

Post a Comment