Seandainya Perang Dingin tak pernah terjadi pada awal tahun 90-an
silam, dan Rusia tetap menjadi Uni Soviet, secara ekonomi dan pertahanan
mungkin Indonesia akan menjadi salah satu negara yang diperhitungkan di wilayah
Asia Pasifik khususnya mengingat letak geografisnya yang sangat strategis.
Rasanya gatal sekali menulis mengenai hubungan politik kedua negara sejak tahun
1950-an, tapi kali ini saya akan mempersempit tulisan di area sepakbola saja.
Sebelumnya mari sejenak kita me-refresh hubungan romantis
Indonesia dengan Rusia yang sejatinya sudah muncul sejak lama, jauh sebelum
merdeka tahun 1945, atau diakui kemerdekaannya oleh Belanda tahun 1949/1950
silam.
Sejarah mencatat bahwa orang Rusia (Soviet) pertama yang menginjakkan
kaki di Nusantara adalah Afanasy Nikitin dari
kota Tver. Nikitin adalah seorang pedagang dan saat ia membuat sebuah catatan
mengenai perjalanannya di Asia (sejatinya ia hendak berlayar ke India sekitar
tahun 1466-1472) dalam sebuah buku catatan pribadinya bernama “Perjalanan Melampaui
3 Laut”, ia menulis bahwa ada ada “Negara” yang ia beri nama Shabot yang
terletak di kawasan tropis sekitar Cina. Peneliti menganggap bahwa yang ia
maksud merupakan pulau Sumatra. Nikitin menggambarkan bahwa Shabot adalah pulau
yang eksotis dengan keramahan penduduknya, keragaman budaya serta kehangatan
iklim dengan rimbun pohon yang menyejukkan. Memang sedikit sekali literatur
yang menyebutkan adanya hubungan dagang antara Soviet dengan Indonesia karena
pada saat itu pedagang lebih banyak berasal dari India dan Arab (tentu dengan
membawa budaya serta agama – red: Islam dan Hindu) sehingga Soviet yang
cenderung komunis dianggap bukan orang yang bersahabat, ditambah ketidaksukaan
warga pribumi dengan orang asing berkulit cerah (seperti Portugis, Inggris
ataupun Belanda).
Terlepas dari hal itu, catatan yang dibuat
Nikitin ternyata membuat orang-orang Soviet pada waktu itu tertarik untuk
mengunjungi Indonesia, baik untuk berdagang maupun sekadar berkunjung (yang
kemudian banyak pelancong asal Soviet yang membawa pulang budaya ketimuran
serta agama Islam dan menyebarkannya ke “negara-negara buatan” Soviet seperti
Kazakhstan, Uzbekistan dll). Singkat cerita, kesultanan Aceh (Sumatra Utara)
yang pada tahun 1800-an tengah gencar-gencarnya membutuhkan armada perang guna
mengusir penjajah akhirnya meminta bantuan kepada pihak Soviet baik itu berupa
persenjataan maupun barikade ke-gerilya-an. Beruntung, tahun 1879, kapal Soviet
bernama Vsadnik berlabuh ke Penang (Malaysia), dan delegasi-delegasi
pemberontak Aceh pada waktu itu langsung memohon kepada perwakilan Soviet agar
diberikan perlindungan. Kementrian luar negeri Soviet waktu itu (kalau tidak
salah saat itu dipimpin oleh Nikolay II) merespon dengan positif dan negatif.
Kenapa negatif? Ternyata segelintir pemberontak tersebut juga meminta status
kewarganegaraan Soviet. Tentu saja ditolak. Namun demikian, niat baik
ditunjukkan pihak Soviet (melalui sosok bernama Tzar) dengan dibangunnya kantor
konsulat di Batavia yang akhirnya ditutup tahun 1913 karena campur tangan
Belanda dengan VOC-nya.
Bung Karno, disegani Uni Soviet |
Disinilah awal mula romantisme Indonesia (atau
lebih tepatnya Ir. Soekarno) dengan kubu Soviet. Seperti janji saya, saya tidak
akan mendalam membahas kiprah politik presiden pertama Indonesia tersebut di
masa orde lama. Sejarah mencatat banyak sekali “bekas-bekas” peninggalan Rusia
(terutama di Jakarta) yang menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara negara
komunis tersebut dengan Indonesia. Mulai dari Tugu Tani, Monas, sampai Gelora
Bung Karno. Gelora Bung Karno? Ada apa dengan kompleks olahraga pertama dan
terbesar di Indonesia itu?
SUGBK, begitu nama stadion kebanggan Indonesia
itu disingkat, ternyata memiliki sejarah yang cukup unik. Bagi kalian yang
belum tahu, SUGBK memiliki struktur stadion yang sangat mirip dengan stadion
Luzhniki di kota Moskow, Rusia. Kemegahan kedua stadion yang sempat tercatat
sebagai 10 stadion terbesar di dunia tersebut sama-sama bertipe olimpik (dengan
adanya running track). Bukan hanya itu saja, baik Luzhniki maupun SUGBK
merupakan kompleks olahraga, berbeda dengan beberapa stadion lainnya yang
memang dibuat untuk gelaran sepakbola (contohnya stadion-stadion di Britannia
Raya).
Luzhniki Stadium |
Luzhniki Stadium (dulunya bernama Lenin Stadium)
merupakan stadion olahraga terbesar di Rusia. Saat ini ada dua klub Rusia yang
menggunakannya sebagai kandang, yaitu Torpedo Moscow dan Spartak Moscow. Tahun
2008 kemarin, stadion Luzhniki digunakan sebagai tempat bergulirnya final UEFA
Champions League antara Manchester United melawan Chelsea. Armada pasukan
tempur Sir Alex Ferguson lah yang akhirnya keluar sebagai juara. Bahkan
rencananya final Piala Dunia tahun 2018 mendatang juga akan digelar di stadion
berkapasitas 76.000 tempat duduk ini.
Stadion Utama Gelora Bung Karno |
Lalu apa hubungan antara Indonesia, khususnya
SUGBK, dengan Luzhniki Stadium? Tidak lama setelah selesainya pembangunan
Luzhniki Stadium pada tahun 1956, presiden Soekarno melakukan kunjungan ke
Rusia. Soekarno kemudian melakukan pidato di depan ratusan ribu pasang mata di
stadion tersebut. Sejarah mencatat bahwa itu adalah untuk kali pertama Luzhniki
Stadium digunakan sebagai tempat non-olahraga dan tercatat sebagai salah satu
kegiatan yang mendapat sambutan paling meriah serta
paling banyak.
Pada medio
60-an, Soekarno adalah salah satu sosok yang paling diagungkan oleh warga
Rusia. Semua orang Rusia mengagumi cara ia berorasi yang sangat menggugah
siapapun yang hadir, tak terkecuali oleh pemimpin-pemimpin Soviet pada waktu
itu, diantaranya dubes Rusia untuk Indonesia, Alexandrovich Zhukov, dan menteri
luar negeri Rusia, A.A. Gromyko. Sebagai catatan tambahan, pada tahun itu pula
Indonesia dan Rusia secara diplomasi resmi menandatangani perjanjian bilateral.
Setelah kunjungannya ke Moskow, Ir. Soekarno
sempat berbicara dengan pemimpin-pemimpin Rusia mengenai kekagumannya terhadap
Luzhniki Stadium, serta keinginannya untuk membangun stadion yang sama megahnya
dengan apa yang dimiliki Rusia. Ucapan Soekarno ternyata ditanggapi serius oleh
pemerintah Rusia. Sebagai bentuk keseriusan terhadap perjanjian kerja sama
bilateral tersebut, Rusia rela menyumbangkan sekitar 12,5 juta dolar untuk
pembangunan SUGBK. Angka tersebut tentunya sangat besar pada saat itu. Rusia
pun mengirimkan tim arsitek serta pekerja bangunan terbaik guna pembangunan
SUGBK yang diresmikan saat Asian Games tahun 1962 silam. Tidak heran jika
bangunan kedua stadion sangatlah mirip.
Indonesia vs Uni Soviet |
Hanya disitu saja? Tentu saja tidak. Ada kabar
yang menyebutkan bahwa lambang garuda yang tersemat di logo PSSI maupun badan
otoritas sepakbola Rusia (dan negara) merupakan bentuk dari betapa romatisnya
hubungan antara Indonesia dengan Rusia pada waktu itu. Sebuah revolusi yang
tentunya sangat membanggakan bagi kita warga Indonesia di tengah mandeknya
prestasi sepakbola kita. Tidak perlu kita bicara dunia, untuk level Asia
Tenggara saja kita masih kepayahan.
Kita tidak bisa berharap banyak pada campur
tangan Rusia dari segi pembinaan sepakbola, tapi setidaknya secuil sejarah ini
bisa menjadi pelecut semangat, pembakar harga diri untuk menunjukkan rasa
terima kasih kita, baik itu kepada saksi sejarah kita, maupun kepada Rusia yang
sudah membantu banyak dalam perkembangan persepakbolaan kita.
By: @gregah14
No comments:
Post a Comment